Rumah Kopi
Rahasia dari bibir kita sederhana: Aku menyeret waktu
yang beku, mirip kabar sendu dari jendela lebar, dari beranda
penuh kursi dan dari tiap daun meja. Sedang kau menyaru
dalam bau yang kuhidu dari asap tipis rindu di bibir cangkir.
Dan mata kita diam-diam menyimpan rahasia yang lain:
Hangat tubuhmu menghitam dan sedikit berbuih, seperti
pada sebuah pantai aku menemu bangkai ketam. Sementara
sebentar-sebentar ada kalut yang mengarah ke laut, jauh
dari aku dan sebuah sesal yang dipintal oleh kata-kata.
Aku bukan musafir, hanya perut petualang yang tak lapar
benar. Helai roti berselai nenas, bukan sesuatu yang pantas
untuk dihidangkan sebab – sudah dikabarkan sebelumnya –
manusia bisa dipuaskan hanya dengan firman.
Maka rahasia-rahasia hanyalah percakapan biasa di tubuh
waktu. Diam-diam di meja seberang ada yang mencuri tawa
kita. Menyembunyikannya pada pekat malam, pada dada laut
dalam, dan juga pada bangkai ketam.
Lalu, apakah sesal? Dingin merapat di ketat cangkir.
Dan kita hanya bisa saling memandang.
Dan kita merapikan bibir masing-masing.
Sementara meja dan kursi berderet-deret panjang
di beranda, menyebar keharuman sederhana..
Keharuman yang belum bisa diucapkan.
(DEDY TRI RIYADI,2012)