Membaca Susi Untuk Ayu Di Payakumbuh Puisi Riki Dhamparan Putra
Susi yang sekarat
Tak akan tamat karena puisi mengunjungimu
di Payakumbuh
Marilah kita ucapkan salam
Kita jamu dengan sekepal lumut masik
batih jerami
getar sayap kumbang papan
Andai andai-andai
Andai anai-anai yang memahat tangga ke rumah gadang lama itu
melepas bebannya
Apakah Susi akan runtuh
Tentu Susi tak akan runtuh
Kecuali kita hanya punya satu leluhur saja yang jenaka
Ialah yang menukar besi jembatan
dengan mayat pekerja rodi
kegembiraan dengan riwayat perang
sawah ladang dengan potongan bambu
berani mati
Bagi leluhur yang seperti itu
hanya ada satu pembebasan saja di dunia
: lagu puja kepada bunga-bunga
Untunglah tanah ini tak pernah kekurangan kata-kata
Kata-kata tak pernah selesai
Tiap orang bagai gelanggang bagi menempa kata-kata
yang tak selesai-selesai
Tapi aku masih saja ragu semua itu bakal mengantarku padamu
Apakah engkau akan rela bila kukata batang Agam
bukan lagi batang Agam namanya
bila aku di Tambun Ijuk, tapi kukata aku tak melihat pohon enau
Apakah engkau rela
bila aku hanya segenggam abu pendiangan
di tungku yang pucat pasi
pemanas antikarat
panci teflon berisi kotoran Susi?
Tak ada kuda gumarang di antara kita
Roh yang memompaku hanyalah rasa takut kepada umur
Aku takut tak dapat menanggalkan
seluruh diri yang tidak kupunya
sepenuhnya
Jadi aku harus melompat padamu
Tangga kayu yang telah tanggal ditinggal itu pun
harus ikut melompat
Hingga jadilah diriku seekor katak beracun
terkurung gelembung sendiri
Semakin jauh aku melompat
Semakin dalam teka-teki
Semakin susut air tebat yang biasa kupakai berkumur-kumur
pagi-pagi
Semakin jauh aku padamu
Apakah ada jalan pintas agar aku tak makin jauh padamu
Perlukah aku memakai baju senja raya
membalik pusaran gasing
meniup buluh dari balik lubangnya yang hampa
Perlukah engkau menyeberangi sunyi yang kutitipkan
di bekas tampuk daun-daun
di antara fosil lingga berusia 3.000 tahun?
Panggilan itu, Ayu Ayu Ayu
Klakson oto tahun 90
Kadang-kadang seperih puput serunai
Di dadaku ia
Mengucap kata talak
Tak sampai-sampai
Tapi aku bukan kisah tak sampai-sampai
Kisahku menitah menatah
Kisahku meniti asap
di jalan pepatah patah-patah
Itulah mengapa aku tak akan utuh lagi
ketika kau buka
Jasadku telah disetubuhi hantu ngalau
Ratapku umpama gema yang hilang timbul
di tebing-tebing Harau
Kalau kau lihat aku termangu di kaki bianglala
Kalau kau dengar aku menumpang bendi
Atau misal kita berjumpa di kedai sate orang Dangung Dangung
Itu karena aku sedang mengejar Susi di tempat yang terang
Aku ingin merasakan sejuk pegunungan
dari hawamu
bunga cokelat yang menyala petang
baju kurung merah muda
Aku ingin terhembus seperti padang rumput
di bukit-bukit yang belum kudaki lereng-lerengnya
Bila pagi datang
Bila petang turun
Aku ingin melagukan lagu yang tidak pernah usang
lagu orang memetik gambir
lagu penakik enau menunggu nira hilir
Tak akan selesai Susi itu, Ayu
Tak akan tamat di tintaku
Sebab ia serupa rasa gatal yang tergila-gila pada permulaan
Di jemarinya ada getah yang selalu basah
arai yang mekar
umbut yang mengudap rahasia
dengan sepenuh rasa lapar
Suatu hari nanti
Akan kukisahkan padamu
mengapa ia diutus keliling benua
mengapa ia tumbuh seperti kerak hangus
mengapa ia harus bersimpuh
saat pulang
ke rumpunnya
Andai nanti andai-andai itu meminangmu
Misal nanti misal itu menyuntingmu
Aku masih menginginkan rahasianya
Ia harus mengungkap
Atau aku yang menangkap
Lalu kita sama-sama berela hati
pada orang banyak yang mengantar tanda dengan carana
kias dihias
tiang-tiang dituas
giwang baju yang terikat dibebaskan dengan ridha Tuhan
Hari sehari yang terberkah itu pun dirayakan seperlunya
Anak dara mengenakan sunting
Marapulai mengenakan mahkotanya
Tersiraplah burung puyuh di persembunyian
pohon-pohon kapas melepas buah kapas
sarang tempua dan daun nyiur terayun-ayun di ketinggian
panenlah kita
terbanglah kita.(Riki Dhamparan Putra)