Elisa Netscher
1
Ketika Elisa Netscher pulang, suatu hari
Chinapalla tengah menjadi bandar sunyi
Hutan-hutan di sekelilingnya
Menjelma ladang bunga api
Orang-orang sudah lama pergi
Binatang mati dan mengungsi
Sedang alir Sungai Siak seakan-akan melambat
Untuk naik ke udara, menjadi hujan paling lebat
Yang bakal mendinginkan semua
Kepundan di celah rimba belantara
Bumi mandi asap, kala itu, Elisa tahu
Namun, ia cuma ingat episode 1861
Seseorang ditunjuk sebagai residen
Lalu naik menggantikan Jan van Swieten
2
”Lantas, apalah gunanya Virtus Nobilitat?”
Seseorang terdengar bertanya dari dekat
Ketika di dermaga itu ia tepis semua prasangka
Saat bayangan loji roboh tampak di depannya
”Tak ada,” jawabnya, ”mungkin...”
Dengan nada suara separuh tak yakin
Para samun dan lanun, katanya lagi, bahkan sudah di darat
Merambah semua pohonan, membunuh segala pengerat
Udara pun jelek terkurung jerebu
Langit robek dan cuma berisi abu
”Jawablah, apa guna Virtus Nobilitat?”
Seseorang kembali bertanya dari dekat
Elisa ingin saja menjawab, sesaat
Sebelum lidahnya terasa berat
3
”Sudah lama langit serupa tembaga
Dan orang-orang terus mengetuknya
Berharap tangan gaib memercikkan air dari sana
Melumat jerebu dan membunuh titik api yang ada”
Kini Elisa telah mencatat itu semua
(Seraya menangisi kepergiannya)
Sebagai gurindam ketiga belas
Sebelum ia kehabisan napas
Laatste Rustplaats PJJ van Rossum
Semua sudah dicukupkan, Meneer, buatmu
Kantor residen, rumah tahanan
Gudang peluru dan barak pasukan
Maka pergilah. Gedung ini telah selesai
Dan ajal dan urusanmu pun sudah sampai
Damar, rotan, dan kayu sudah dihimpun
Sebelum membusuk dalam unggun tahun
Tapi satu abad usai 1880, kembalilah
Dan temukan satu negeri yang indah
Sungai berair tenang, tapi tak jernih
Tanpa kiambang di atasnya, membenih
Ada gedung menantimu sebuah tangsi
Saksi paling kokoh dari zaman kompeni
Maka masuklah. Perpustakaan kantor, museum
Ruang pameran, toilet, dapur, area serbaguna
Dan gudang itu menunggu kehadiranmu
Tapi satu abad sebelum hari itu, kenanglah
Lorong-lorong gelap-terang berbata rollag
Dengan langit-langit lengkung yang luas
Pernah menatap si terhukum yang kaubawa
Setelah semua dicukupkan, Meneer, buatmu
Kantor residen, rumah tahanan
Gudang peluru dan barak pasukan
Tentang Manoel dan Jagur
Sudah lama Meriam Si Jagur tertidur
Saat Manoel Tavares Baccaro pulang
Menemui sobat lamanya dan menegur
”Bangunlah, Gur, sebelum dunia ini hancur!”
Seakan-akan mampu memuntir waktu
Manoel menyatukan wilayah tempo dulu
Makau, Melaka, dan Batavia pada 1641
Jagur pun bangun dan mendapati sekelilingnya
Melalui benteng, ia temukan satu pelabuhan dan
Seorang centeng, di sana, mondar-mandir tanpa tuan
Dari fico, simbol mengepal aneh itu, Jagur melihat
Orang Portugis pada malam hari, lewat
Dan seluruh lubang di tubuhnya disumbat
Ia tergelak dan tubuh 3,5 tonnya tersentak
Seraya meraba-raba ukiran tua, sebuah jejak
”Ex Me Ipsa Renata Sum”
Dan ia bilang, sambil tersenyum
”3,085 meter, panjangku
Berasal dari leburan 16 saudaraku
Mereka yang bosan mengidam-idamkan keturunan
Akan membakar kemenyan dan berharap kesuburan
Dengan bahasa lain mengelusku untuk sebuah harapan”
Kita kini di Jalan Tongkol, Gur
Ucap Manoel saat melihat gestur
Sobatnya itu meski ia justru terbayang
Benteng St Jago de Barra yang hilang
Sebab Belanda telah menghapus Fortaleza de Malaca
Mencoreng wajah Manuel de Sousa Countinho selamanya
Dan kerajaan-kerajaan Melayu, sesuai perjanjian Johor 1606,
Tak lagi diperangi, tetapi diam-diam mulai merawat dendam
”Sudahlah, kembalikan dunia lama kita itu, Manoel!” pinta Jagur
Manoel tersenyum – tahu sobat lamanya itu tak dapat dihibur
Tapi yang terhampar kini hanya halaman Museum Fatahillah
Dan seketika Manoel tak ada, sedang turis-turis berziarah
Masih menunggu peluang mengelus-elus tubuh tambunnya
Lalu memotret, kemudian pergi (tanpa ingatan) begitu saja
Benteng Huis Van Behauring, Bengkalis
Di kamar pengap dan lesi
Di antara kilau jerjak besi
Orang buangan jadi resi
”Cukup aku yang mereka gari
Jangan pula orang senegeri”
Dalam terungku ini, ucapnya,
Nasib serupa satu-satunya
Gerbang menuju ke mari
Di situ datang, di situ pergi
(Dan di luar, kubur-kubur baru menanti)
”Di ruang-ruang dalam tubuhku selalu mengalir
Darah kesetiaan buat negeri – tak pernah berakhir”
Tapi pengkhianat baru lahir setiap hari, katanya
Di bilik tahanan lain, tanah-tanah jauh dari sini,
Dari negeri jajahan yang tak pernah punya mimpi
Soal kamar pengap dan lesi
Di antara kilau jerjak besi
Ketika orang buangan jadi resi
(Boy Riza Utama lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Mei 1993. Ia bergiat di Komunitas Paragraf, Pekanbaru).