Sengketa Perpajakan Dari Hasil Pemeriksaan
Perbedaan persepsi antara fiskus dengan wajib pajak, hakikatnya merupakan suatu yang (sering) lazim terjadi setelah Wajib Pajak diperiksa, karena masing-masing pihak yang bersengketa, yaitu Wajib Pajak di satu pihak dan Fiskus di pihak yang lain. Merujuk kepada prinsip yang berbeda, terutama dari perbedaan prinsip yang dianut oleh akuntansi komersial dan akuntansi fiskal. Di samping itu masih ada perbedaan-perbedaan yang menyebabkan timbulnya sengketa tadi, baik yang bersifat pemahaman atas peraturan perundangan maupun perbedaan yang bersifat “non teknis”. Sarana atau upaya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut pada tingkat yang paling awal adalah dilakukannya berbagai penyesuaian (rekonsiliasi) terhadap perbedaan prinsip yang dianut dalam sistem akuntansi, yaitu yang semula menganut prinsip akuntansi komersial dikonversi ke prinsip akuntansi fiskal. Dalam hal sengketa dimaksud menjadi berlanjut, kesempatan memperoleh hak yang dituntut oleh Wajib Pajak, masih diapresiasi oleh peraturan perundang-undangan, melalui berbagai upaya hukum yang dimulai dari hak mengajukan keberatan, upaya banding dan bahkan sampai upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, harapan untuk mencapai tingkat keadilan yang hakiki bagi kedua belah pihak yang bersengketa, dapat terwujud.
Sengketa pajak terjadi karena ketidaksamaan presepsi atau perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan petugas pajak mengenai penetapan pajak terutang yang diterbitkan atau adanya tindakan penagihan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pengertian Sengketa Pajak umumnya diawali diterbitkannya surat ketetapan pajak atau surat tindakan penagihan pajak. Surat ketetapan pajak dimaksud adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Selain itu sengketa juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga pelaku pemotongan atau pemungutan pajak. Untuk menyelesaikan Sengketa Pajak yang dapat dilakukan Wajib Pajak adalah meliputi proses keberatan, banding, peninjauan kembali, dan gugatan. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak, sedang upaya hukum Banding dan Gugatan diajukan ke Pengadilan Pajak (PP). Khusus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Namun demikian, ada upaya hukum dengan nama peninjauan kembali (huruf kecil) yang diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak" (Ilyas & Burton).
Definisi Sengketa Pajak menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, "Sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa". Lebih lanjut dipertegas bahwa "Dengan demikian sengketa yang timbul sebelum keluar keputusan Direktorat Jenderal Pajak dimaksud, seperti sengketa yang terjadi di dalam pemeriksaan misalnya, tidak dapat dianggap sebagai Sengketa Pajak. Rumusan Sengketa Pajak tidak mengharuskan adanya penyelesaian di Pengadilan Pajak, tetapi hanya memberi batasan bahwa keputusan tersebut dapat diajukan Banding atau Gugatan ke Pengadilan Pajak. Atas dasar itu, Sengketa Pajak bisa diselesaikan di Direktorat Jenderal Pajak atau di Pengadilan Pajak" (IAI, 2009). Menurut Oktavia & Setyawan (2007), "Terdapat dua sisi persepsi obyek yaitu antara sudut pandang Fiskus dan Wajib Pajak sebagai akibat dari adanya perbedaan penafsiran dan pendirian mengenai ketentuan hukum pajak yang memicu terjadinya Sengketa Pajak, ternyata dapat diselesaikan melalui upaya hukum yakni peradilan administrasi dalam pengajuan keberatan dan banding".
Keberatan Pajak Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007, "Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; Surat Ketetapan Pajak Nihil; Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan". Dengan demikian dasar hukum keberatan yaitu mengacu kepada: Pasal 25, 26, dan 26 huruf a Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KetentuanUmum dan Tata Cara Perpajakan; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan.
Proses Penyampaian Surat Keberatan Menurut Pardiat (2009), surat keberatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan melalui tiga pilihan, yaitu pertama Penyampaian secara langsung, kedua melalui Pos dengan bukti pengiriman surat; atau dengan Cara lain.Termasuk dalam pengertian penyampaian surat keberatan secara langsung adalah penyampaian surat keberatan melalui Kantor Penyuluhun dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Penyampaian surat keberatan melalui cara lain meliputi dua pilihan, yaknimelalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, dan secara e-Filling melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Aplication Service Provider (ASP). Atas penyampaian surat keberatan secara langsung diberikan tanda penerimaan surat dan penyampaian surat keberatan dengan e-filling melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Aplication Service Provider (ASP) diberikan bukti penerimaan Elektronik. Bukti pengiriman surat lewat pos, melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir atau tanda penerimaan surat secara langsung serta Bukti Penerimaan Elektronik menjadi bukti penerimaan surat keberatan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 mulai berlaku 1 Januari 2008, mengatur: (1) perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah perusahaan yang berbentuk hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk surat pengiriman surat keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak; (2) penyampaian surat keberatan secara elektronik yang selanjutnya disebut e-Filling adalah suatu cara penyampaian surat keberatan yang dilakukan secara online yang real time melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Aplication Service Provider (ASP). Syarat Permohonan Pengajuan Keberatan Sesuai Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 25, pengajuan keberatan dalam Surat Keberatan harus memenuhi syarat: (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; (2) menyebutkan jumlah pajak yang terutang, yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan; (3) satu surat keberatan diajukan hanya untuk satusurat ketetapan pajak, untuk satu pemotongan pajak, atau untuk satu pemungutan pajak; (4) Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan; (5) diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal dikirim Surat Ketetapan Pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur); (6) Surat keberatan ditanda tangani Wajib Pajak, dan bila surat keberatan ditanda tangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE– 24/PJ.43/2000, force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan manusia seperti banjir, kebakaran, petir, gempa bumi, wabah, perang, perang saudara, huru-hara, pemogokan, pembatasan oleh penguasa dari suatu pemerintahan, pembatasan perdagangan oleh suatu undang-undang atau peraturan pemerintah, atau dikarenakan suatu keadaan atau kejadian alamiah yang tidak dapat diduga sebelumnya. Untuk membuktikan Wajib Pajak mengalami force majeur harus mendapatkan rekomendasi (pengesahan) dari aparat yang berwenang setempat minimal Camat atau Kepolisian setempat.